Konsep Decision Tree of Leadership dari Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
* AI (Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
* AII (Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral
* CI (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* CII (Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
* GII (Group Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973)
*Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
*Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
*Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
*Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
*Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
*Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
*Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
5. Teori
kepemimpinan dari konsep Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler
Para pemimpin mencoba melakukan
pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yg
spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang
berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada
satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik.
Penerimaan kenyataan dasar ini
melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan
oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.
Asumsi dasar adalah bahwa sangat
sulit bagi pemimpin untuk mengubah gaya kepemimpinan yang telah membuat ia
berhasil, penekanan pada efektifitas dari suatu kelimpok, efektivitas suatu
organisasi tegantung pada (is contingent upon), dua variable yang saling
berinteraksi yaitu: 1) system motivasi dari pemimpin, 2) tingkat atau keadaan
yang menyenangkan dari situasi.
Model kepemimpinan kontijensi
Fiedler (1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara
efektivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut nilai LPC rekan kerja
yang paling tidak disukai (Yukl, 2005:251). Fiedler menemukan bahwa tugas
pemimpin berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol rendah dan moderat
dan hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.
Fiedler memprediksi bahwa para
pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada
tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni
mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang
apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin
dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low
LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model kepemimpinan Fiedler (1967)
disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa
kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara
atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the
favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini
selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah
hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas
(the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
System kepemimpinan dibagi menjadi 3
dimensi:
- Hubungan pemimpin-pengikut
Pemimpin akan mempunyai lebih banyak
kekuasaan dan pengaruh, apabila ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan
anggota-anggotanya, artinya kalau ia disenangi, dihormati dan dipercaya.
- Struktur tugas
Bahwa penugasan yang terstruktur
baik, jelas, eksplisit, terprogram, akan memungkinkan pemimpin lebih
berpengaruh dari pada kalau penugasaan itu kabur, tidak jelas dan tidak
terstruktur.
- Posisi kekuasaan
Pemimpin akan mempunyai kekuasaan
dan pengaruh lebih banyak apabila posisinya atau kedudukannya memperkenankan ia
memberi hukuman, mengangkat dan memecat, dari pada kalau ia memiliki kedudukan
seperti itu.
6. Teori
kepemimpinan dari konsep path goal theory
Path Goal theory (teori jalur
tujuan) dari kepemimpinan telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Teori
ini pertama kali diungkapkan oleh Evans (1970) dan House (1971). House (1971)
memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan
variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan oleh beberapa penulis
seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974); dan
House (1996).
Konsep
Path Goal Theory of Leadership
Menurut model ini, pemimpin menjadi
efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para
pengikut, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena
terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang
tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).
Dasar dari path goal adalah teori
motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin
efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan
membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian
bawahan terhadap tujuan sepsifik.
Perkembangan awal teori path goal
menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi
direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap
bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan
mengenai hubungan antara usaha, kinerja, imbalan.
Model kepemimpinan jalur tujuan
(path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan
mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan.
Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan
ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan
kepemimpinan dalam berbagai situasi.
Daftar Pustaka :
Ivancevich, dkk. 2007. Perilaku
dan Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Purwanto, D. 2006. Komunikasi
Bisnis. Jakarta: Erlangga
Kartini Kartono. 1998. Pemimpin
dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Grafindo Persada
0 komentar:
Posting Komentar