Subscribe:

Sabtu, 18 Juni 2016

PSIKOTERAPI ke-4

     1. Terapi Perspektif Intregatif
     Mila seorang mahasiswa tingkat tiga di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Mila dalam keseharian dikenal sebagai seorang mahasiswa yang ramah oleh teman-temannya. Tidak ada yang salah dalam perilakunya, namun lain halnya bagi teman-teman dekat Mila. Mereka merasa bahwa Mila memiliki kecemasan yang berlebihan, sehingga setiap saat harus ditemani oleh temannya. Terutama dalam hal-hal yang membutuhkan pilihan. Bagi teman-temannya, perilaku Mila yang terlalu bergantung pada orang lain cukup mengganggu, mereka mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka disamping Mila. Setelah melakukan wawancara langsung dengan Mila yang dibungkus dalam bentuk curhat-curhatan, Mila mengaku bahwa ia menjadi seperti itu karena Mila yang juga merupakan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarganya sewaktu kecil segalanya diuruskan oleh orang tua dan kakak-kakaknya. Mila mengatakan bahwa pernah sekali ia bermain dengan ayahnya, ketika sang ayah tidak melihat Mila yang tengah bersembunyi dibalik tembok dan tiba-tiba mengagetkan ayahnya. Namun, ternyata ayahnya langsung jatuh dan kejang-kejang sambil memegang dadanya, dan setelah dirujuk ke dokter diketahui bahwa ayahnya terkena penyakit jantung. Mila sangat sedih dan ketakutan dan mengaku bahwa saat itulah pertama kalinya ia dimarahi habis-habisan oleh kakak-kakaknya.

       2. Terapi Bermain
   Seorang anak yang tidak termotivasi untuk sekolah bisa disebabkan oleh beberapa hal. Untuk mengungkap penyebab tersebut dapat dilakukan terapi bermain. Dengan mengajak anak tersebut bermain melalui berbagai macam permainan. Seorang terapis ingin mengetahui penyebab seorang anak yang tidak mau sekolah. Terapis tersebut mengajak anak itu bermain dengan sifat yang ramah agar anak tersebut merasa nyaman dengannya. Terapis  menggunakan permainan binatang-binatang kecil yang terbuat dari plastik dan mulai menanyakan alasan anak tersebut tidak mau sekolah. Mungkin anak tersebut tidak bisa menjawab. Lalu terapis meminta anak tersebut memilih binatang yang paling disukai yang menyerupai anak tersebut maupun gurunya, dalam hal ini adalah karakternya. Dan anak tersebut memilih binatang yang menyerupai dirinya yaitu kingkong, saat ditanya alasan mengapa memilih kingkong, anak tersebut akan mulai menceritakan. Dengan permainan, anak akan mudah untuk bercerita. Dan terapis dapat mengalihkan perhatiannya untuk kembali ke tujuan awal dari terapi. Setelah masalah telah terungkap, terapis memberitahukan kepada orang tua anak tersbut.
Bentuk-bentuk dari terapi bermain ini bermacam-macam dan sederhana sekali, juga tidak memerlukan biaya yang mahal namun memerlukan kreativitas. Tapi kita bukan menggunakan video games sebagai permainan tapi menggunakan alat-alat yang nantinya akan menghasilkan sesuatu. Dan dari hasil itu, kita tidak melihat nilai seninya namun kita melihat hasil dari apa yang dibuatnya dan biasanya hasil itu menunjukkan dirinya atau perasaannya. Alat-alat permainan yang biasa digunakan antara lain boneka ("puppet"), menggambar, binatang-binatang kecil dari plastik, pedang-pedangan dari plastik, kartu forty-one, pasir, malam atau pledo, dan lain-lain. Dalam melakukan terapi bermain ini dibutuhkan waktu + 30 menit.

3. Terapi Keluarga

         Terdapat 4 orang yang terlibat dalam proses terapi. Seorang terapis wanita, Don(ayah), Ben(anak laki-laki), dan Heather(anak perempuan). Terapi dilakukan di sebuah ruangan tertutup. Posisi duduk mereka membentuk setengah lingkaran, dengan ujung paling kiri yaitu Ben, kemudian di sebelahnya adalah terapis, setelah terapis adalah Heather, dan kemudian di ujung paling kanan adalah Don.
         Awalnya, terapis mengatakan bahwa penting sekali membahas masalah hubungan antar anggota keluarga tersebut. Kemudian terapis juga meluruskan tentang peran orang tua dan anak dalam sebuah keluarga. Hal ini ditekankan kembali karena Don (ayah) cenderung membela Heather, anak perempuannya. Akan tetapi pada akhirnya Don dapat menyadari sikap seperti apa yang harus ia lakukan sebagai orang tua yang baik. Setelah itu terapis meminta ayah dan Ben untuk bertukar posisi duduk agar Ben dan Heather dapat duduk berdampingan.
         Terapis mempersilahkan Heather untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya terhadap sosok Ben. Heather mengatakan bahwa ia merindukan sosok kakaknya yang seperti dulu dan ia merasa bahwa ia sudah tidak mengenali kakaknya lagi, yang sekarang ini dianggap sering berperilaku menyimpang. Misalnya saja sekarang Ben terbiasa pulang pagi dan juga berkata-kata kasar.
         Setelah Heather selesai mengungkapkan apa yang ia rasakan dan pikirkan kemudian terapis meminta Ben untuk menanggapi apa yang disampaikan oleh adik perempuannya tersebut. Dan terungkaplah bahwa selama ini Ben merasa bahwa selama ini dia diperlakukan secara berbeda dengan adiknya.
        Setelah mendengar pengakuan dari kedua kakak beradik tersebut, terapis pun berusaha memberikan insight pada sang ayah tentang akar permasalahan yang terjadi di antara Ben dan Heather. Dan di akhir sesi terapi, hubungan antar anggota keluarga tesebut pun terlihat menjadi lebih hangat. Terapi selesai.

Daftar Pustaka :
Rakhmawati, dkk. 2012. Metode Penanganan II (Psikoanalisa,Humanistic,Gestalt). Jakarta: Skripsi. Tidak diterbitkan.
Tedjasaputra, M. (2001). Bermain, mainan dan permainan. Jakarta: Grasindo
-  

Sabtu, 11 Juni 2016

PSIKOTERAPI : minggu ke-3

1. Metode Transaksional Analisis




      Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi ini lebih cocok digunakan untuk terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi lain karena merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT menekankan aspek-aspek kognitif rasional-Behavior dan berorientasi pada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.
     Pendekatan ini dikembangkan oleh Eric Berne, berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Teori Berne menggunakan beberapa kata utama dan menyajikan suatu kerangka yang bisa dimengerti yang dipelajari dengan mudah. Kata-kata utamanya adalah orang tua, orang dewasa, anak, putusan, putusan ulang, permainan, skenario, pemerasan, dicampuri, pengabaian, dan ciri khas. 

2. Perbandingan Terapi Individu & Terapi Kelompok

           Terapi individual adalah penanganan klien dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Sedangkan terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan (support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti : gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi, klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik diri/isolasi sosial.

3. Metode Terapi Rasional Emotif

         Terapi rasional emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
          Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
             TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
            Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
 

4. Metode Terapi Perilaku


               Terapi perilaku (Behaviour therapy, behavior modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang didisain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Terapi perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu termasuk juga Wolpe Yusuf dan Hans Eysenck. Secara umum, terapi perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian, lingkungan, dan perilaku.

Daftar Pustaka :

- Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama.

- Nevid, jeffery. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
- I, M. Ingram. 1993. Catatan kuliah psikiatri. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
- Rawlins, T.R.P., Williams, S.R., Beck, C.M. 1993. Mental Health Psychiatric Nursing a Holistic Life Cycle Approach. St. Louis : Mosby Year Book.