Teori
Depresi termasuk salah satu di antara
gangguan-gangguan suasana hati (mood). Gangguan-gangguan suasana hati adalah
gangguan-gangguan yang bergerak dari depresi yang dalam sampai kepada mania
yang ganas. Gangguan-gangguan suasana hati ini kadang-kadang disebut
gangguan-gangguan efektif. Istilah “afek” berarti suatu respons emosional
subjektif.
Penyebab
:
-
Factor Biologis
Adanya ketidakseimbangan zat-zat kimia di otak menyebabkan sel-sel otak tidak berfumhsi dengan baik. Ada keluarga dan orang tertentu yang lebih rentan terhadap zat-zat kimia ini sehingga pada kondisi tertentu mereka cenderung mengalami depresi.
-
Faktor Psikososial
Kegagalan seseorang untuk
menyesuaikan diri terhadap berbagai “perubahan” atau “kehilangan” pada saat
lanjut usia akan menjadi pencetus depresi. Perubahan status ekonomi, struktur
keluarga yang cepat berubah, cenderung kehilangan anak, menantu, cucu, dan juga
teman-teman.
Adapun penyebab depresi seperti berikut :
- Rasa sedih atau cemas yang terus menerus
- Rasa putus asa dan pesimis
- Rasa bersalah, merasa tidak berharga
- Kehilangan minat atau kesenangan atas hobi atau aktivitas yang sebelumnya disukai
- Energi lemah, kelelahan, menjadi lambat
- Sulit berkonsentrasi, mengingat dan memutuskan
- Sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hypersomnia)
- Sulit makan atau terlalu banyak makan (menjadi kurus atau kegemukan)
- Tidak tenang dan gampang tersinggung
- Sakit kepala, masalah pencernaan dan nyeri kronis yang terus menerus
- Berpikir ingin mati atau bunuh diri
Analisis :
Remaja putri yang mengalami masa
pubertas lebih awal memiliki risiko depresi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan perubahan fisik maupun hormonal yang
terjadi pada saat pubertas dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan
dan laki-laki. Pada remaja putri, memiliki penilaian negatif terhadap
tubuhnya,mereka sering merasa tidak puas pada tubuhnya, merasa dirinya gemuk,
tidak menarik, dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja putra
mempersepsikan hal itu secara positif. Menurut Steinberg (2002), remaja putri memiliki hormon
oxytocin yang lebih tinggi dibanding putra. Hal ini menyebabkan remaja putri
memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya
intensitas untuk berhubungan dengan orang lain, membuat remaja putri lebih
tergantung pada orang lain yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial.
Akibatnya, remaja putri lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa
tidak puas dengan hubungan interpersonal, sehingga kondisi ini diyakini sebagai
resiko munculnya depresi.
Contoh kasus :
Tuan
A adalah seorang bapak berusia pertengahan 30-an. Ia datang berkonsultasi ke
psikiater atas anjuran dari salah seorang rekannya. Saat datang untuk pertama
kalinya, terlihat bahwa mimik wajahnya murung dan nampak tidak bersemangat.
Ketika dilakukan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik, suaranya pelan, gerak-geriknya minimal, dan ia sering menanyakan ulang pertanyaan yang ditanyakan oleh psikiater pemeriksa.
Tuan A menceritakan bahwa ia sudah merasa sedih berkepanjangan di mana hampir tak ada satu haripun ia merasa bahagia selama 1 bulan terakhir dan aktivitasnya terbatas di dalam rumah saja. Satu bulan lalu ternyata ia baru saja di PHK dari pekerjaannya.
Rasa sedihnya disertai dengan penurunan berat badan yang nyata sekitar 3-4 kg karena hilangnya nafsu makan, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sulit untuk jatuh tidur atau kalau pun bisa ia mudah sekali terbangun dari tidurnya.
Setelah beberapa saat kemudian, Tuan A bercerita bahwa perasaan sedihnya bertambah parah semenjak dua minggu terakhir, ia menjadi mudah menangis tanpa sebab-sebab yang jelas dan ia merasa pesimis dengan masa depannya serta keluarganya. Akhir-akhir ini, ia berpikir bahwa hidupnya tidak berharga dan lebih baik ia mati saja.
Semenjak di PHK Tuan A juga tidak pernah lagi mencoba mencari pekerjaan baru karena merasa putus asa dengan hidupnya selain itu saat ini dia menjadi menarik diri dari pergaulan padahal dahulu ia dikenal sebagai orang yang aktif dalam kegiatan RT di lingkungannya. Rasa sedihnya menjadi bertambah parah karena Tuan A mulai kebingungan akan pembiayaan hidupnya sehari-hari beserta keluarganya.
Gejala-gejala yang dialami oleh Tuan A di atas merupakan bagian dari gangguan depresi mayor dan contoh kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus yang ekstrim. Gangguan ini termasuk dalam kelompok gangguan jiwa dan merupakan salah satu jenis gangguan afektif (gangguan terkait suasana perasaan).
Ketika dilakukan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik, suaranya pelan, gerak-geriknya minimal, dan ia sering menanyakan ulang pertanyaan yang ditanyakan oleh psikiater pemeriksa.
Tuan A menceritakan bahwa ia sudah merasa sedih berkepanjangan di mana hampir tak ada satu haripun ia merasa bahagia selama 1 bulan terakhir dan aktivitasnya terbatas di dalam rumah saja. Satu bulan lalu ternyata ia baru saja di PHK dari pekerjaannya.
Rasa sedihnya disertai dengan penurunan berat badan yang nyata sekitar 3-4 kg karena hilangnya nafsu makan, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sulit untuk jatuh tidur atau kalau pun bisa ia mudah sekali terbangun dari tidurnya.
Setelah beberapa saat kemudian, Tuan A bercerita bahwa perasaan sedihnya bertambah parah semenjak dua minggu terakhir, ia menjadi mudah menangis tanpa sebab-sebab yang jelas dan ia merasa pesimis dengan masa depannya serta keluarganya. Akhir-akhir ini, ia berpikir bahwa hidupnya tidak berharga dan lebih baik ia mati saja.
Semenjak di PHK Tuan A juga tidak pernah lagi mencoba mencari pekerjaan baru karena merasa putus asa dengan hidupnya selain itu saat ini dia menjadi menarik diri dari pergaulan padahal dahulu ia dikenal sebagai orang yang aktif dalam kegiatan RT di lingkungannya. Rasa sedihnya menjadi bertambah parah karena Tuan A mulai kebingungan akan pembiayaan hidupnya sehari-hari beserta keluarganya.
Gejala-gejala yang dialami oleh Tuan A di atas merupakan bagian dari gangguan depresi mayor dan contoh kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus yang ekstrim. Gangguan ini termasuk dalam kelompok gangguan jiwa dan merupakan salah satu jenis gangguan afektif (gangguan terkait suasana perasaan).
Daftar Pustaka :
Santos,
Hanna dan Ismail, Andar. (2009). Memahami
krisis lanjut usia : uraian
medis
dan pedagogis-pastoral.
Jakarta : Gunung Mulia
Semium,
Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 2.
Yogyakarta : Kanisius
Feist,
G. J., & Feist, J. (2010). Theories
of personality 7th ed. Jakarta: Salemba
Humanika
0 komentar:
Posting Komentar