Subscribe:

Sabtu, 30 Mei 2015

Hubungan kesehatan mental dengan kecerdasan emosional



 
Teori :
Di tahun 1990, dua Psikolog, Peter Salovey dan John Mayer mengeluarkan istilah kecerdasan emosi atau EI. Hal ini mengacu pada keempat keterampilan yang saling berhubungan: kemampuan untuk melihat, menggunakan, memahami dan mengelola atau mengatur emosi—milik kita sendiri atau orang lain—sehingga dapat mencapai tujuan. Kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk memanfaatkan emosi untuk menghadapi lingkungan sosial secara  lebih efektif. Hal ini membutuhkan kesadaran mengenai tipe-tipe perilaku yang sesuai dalam suatu kondisi sosial.

Untuk mengukur kecerdasan emosi, psikolog menggunakan tes kecerdasan emosi Mayer-Salovey-Caruso (MSCEIT) (Mayer, Salovy, & Caruso, 2002), tes berdurasi 40 menit untuk menjawab pertanyaan dari tes tersebut yang menghasilkan skor untuk setiap kemampuan tersebut, sebagai nilai total.

Kecerdasan emosi berdampak pada kualitas hubungan personal. Studi menemukan bahwa mahasiswa yang mendapat nilai tinggi pada MSCEIT melaporkan cenderung lebih memiliki hubungan yang posisitf dengan orang tua dan teman-temannya, sedangkan mahasiswa yang memiliki nilai yang rendah pada MSCEIT melaporkan terlibat dalam penggunaan obat-obatan terlarang dan mengonsumsi alcohol berlebihan, dan tema-teman dekat mahasiswa yang memiliki nilai tinggi dalam MSCEIT menilai sebagai orang yang cenderung lebih memberikan dukungan emosional seetiap saat jika diperlukan. Pasangan mahasiswa yang keduanya memiliki nilai tinggi pada MSCEIT memiliki hubungan yang membahagiakan, saat pasangan yang nilainya rendah tidak berbahagia.

Kesehatan mental

Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Orang dewasa paruh baya lebih mungkin mengalami distress psikologis serius: kesedihan yang berlebihan, rasa gugup, putus asa, dan rasa tak berharga sepanjang waktu dari pada orang dewasa yang lebih muda atau yang lebih tua. Individu dewasa dengan tekanan psikologis yang serius lebih mungkin dibandingkan sebayanya didiagnosis menderita penyakit jantung, diabetes, artritis atau stroke dan melaporkan perlu bantuan di kehidupan sehari-hari seperti mandi dan berpakaian.

Dalam studi nasional yang luas dari perempuan usia paruh baya, sekitar 1 dari 4 menunjukkan gejala depresi. Sebagaimana studi sebelumnya, prevalensi tertinggi terjadi diantara perempuan Afro Amerika dan Hispanik Amerika dan terendah terjadi diantara perempuan china amerka dan jepang amerika. Perbedaan SSE dan factor berisiko lainnya mungkin menjelaskan kesenjangan ras/etnis tersebut. perempuan yang kurang berpendidikan dan memiliki kesulitan memenuhi kebutuhan dasar lebih mungkin memiliki gejala depresi. begitu juga, mereka yang menyebut kesehatan mereka buruk atau cukup dan ada yang menyebut mereka berada dibawah tekanan atau kurang mendapatkan dukungan sosial dan factor-faktor tersebut jauh lebih penting dibandingkan tanda yang nyata dari SSE.

Kesehatan mental seseorang sangat berpengaruh dalam kecerdasan emosinya. Pepatah kuno Solomon, “ Hati yang riang adalh obat yang baik”, menjadi acuan bagi penelitian setiap saat. Emosi negative seperti kecemasan dan putus asa sering kali dihubungkan dengan kesehatan fisik dan mental yang buruk, dan emosi positif seperti harapan, dihubungkan dengan kesehatan yang baik dan kehidupan yang lebih lama. Karena otak berinteraksi dengan semua system biologis tubuh, perasaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap fungsi tubuh, termasuk fungsi system imun. Suasana hati negative rupanya menahan fungsi system imun dan meningkatkan kerentanan pada penyakit, suasana hati yang posisitf tampaknya mempertinggi fungsi imun.

Contoh kasus:

Ada seorang wanita yang sedang mengalami emosi  besar karena dicemooh oleh temannya sendiri, tapi dia tidak bisa mengungkapkan kekesalannya terhadap temannya itu. Sedangkan dia sakit hati mendengar cemoohannya, tapi dia pendam sampai menimbulkan dendam. Emosi yang dia pendam mengakibatkan kerugian  bagi dirinya sendiri dan temannya. Contoh yang seperti itu adalah tingkat kecerdasan emosi yang sangat rendah. Seharusnya  bicarakanlah secara baik-baik agar semua masalah nya selesai dan tidak menimbulkan kerugian baik untuk diiri kita sendiri maupun orang lain. Dan contoh yang lainnya, terkadang jika kita sedang marah biasanya ingin melempar suatu  barang misalnya buku, tetapi jika orang yang memiliki kecerdasan dalam emosi biasa nya selalu berfikir dahulu, untuk apa kita melepar barang, dampak nya kedepan akan seperti apa, dan apa manfaatnya, sehingga orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa mengendalikan emosi nya.

Daftar Pustaka :


Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba Humanika

Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2014). Experience human development 12th ed. Jakarta:         Salemba Humanika.

Fenomena Depresi



Teori
Depresi termasuk salah satu di antara gangguan-gangguan suasana hati (mood). Gangguan-gangguan suasana hati adalah gangguan-gangguan yang bergerak dari depresi yang dalam sampai kepada mania yang ganas. Gangguan-gangguan suasana hati ini kadang-kadang disebut gangguan-gangguan efektif. Istilah “afek” berarti suatu respons emosional subjektif.

Penyebab :
-        
 Factor Biologis

Adanya ketidakseimbangan zat-zat kimia di otak menyebabkan sel-sel otak tidak berfumhsi dengan baik. Ada keluarga dan orang tertentu yang lebih rentan terhadap zat-zat kimia ini sehingga pada kondisi tertentu mereka cenderung mengalami depresi.
-       
 Faktor Psikososial

Kegagalan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai “perubahan” atau “kehilangan” pada saat lanjut usia akan menjadi pencetus depresi. Perubahan status ekonomi, struktur keluarga yang cepat berubah, cenderung kehilangan anak, menantu, cucu, dan juga teman-teman.

Adapun penyebab depresi seperti berikut :

  • Rasa sedih atau cemas yang terus menerus
  • Rasa putus asa dan pesimis
  • Rasa bersalah, merasa tidak berharga 
  • Kehilangan minat atau kesenangan atas hobi atau aktivitas yang sebelumnya disukai 
  • Energi lemah, kelelahan, menjadi lambat
  • Sulit berkonsentrasi, mengingat dan memutuskan
  • Sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hypersomnia) 
  • Sulit makan atau terlalu banyak makan (menjadi kurus atau kegemukan) 
  • Tidak tenang dan gampang tersinggung 
  • Sakit kepala, masalah pencernaan dan nyeri kronis yang terus menerus
  • Berpikir ingin mati atau bunuh diri
Analisis :
         
   Remaja putri yang mengalami masa pubertas lebih awal memiliki risiko depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra. Hal ini dikarenakan perubahan fisik maupun hormonal yang terjadi pada saat pubertas dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan dan laki-laki. Pada remaja putri, memiliki penilaian negatif terhadap tubuhnya,mereka sering merasa tidak puas pada tubuhnya, merasa dirinya gemuk, tidak menarik, dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja putra mempersepsikan hal itu secara positif. Menurut Steinberg (2002), remaja putri memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding putra. Hal ini menyebabkan remaja putri memiliki ketertarikan yang lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan dengan orang lain, membuat remaja putri lebih tergantung pada orang lain yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja putri lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan hubungan interpersonal, sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya depresi.

Contoh kasus :

Tuan A adalah seorang bapak berusia pertengahan 30-an. Ia datang berkonsultasi ke psikiater atas anjuran dari salah seorang rekannya. Saat datang untuk pertama kalinya, terlihat bahwa mimik wajahnya murung dan nampak tidak bersemangat.

Ketika dilakukan wawancara dan pemeriksaan psikiatrik, suaranya pelan, gerak-geriknya minimal, dan ia sering menanyakan ulang pertanyaan yang ditanyakan oleh psikiater pemeriksa.

Tuan A menceritakan bahwa ia sudah merasa sedih berkepanjangan di mana hampir tak ada satu haripun ia merasa bahagia selama 1 bulan terakhir dan aktivitasnya terbatas di dalam rumah saja. Satu bulan lalu ternyata ia baru saja di PHK dari pekerjaannya.

Rasa sedihnya disertai dengan penurunan berat badan yang nyata sekitar 3-4 kg karena hilangnya nafsu makan, kehilangan semangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sulit untuk jatuh tidur atau kalau pun bisa ia mudah sekali terbangun dari tidurnya.

Setelah beberapa saat kemudian, Tuan A bercerita bahwa perasaan sedihnya bertambah parah semenjak dua minggu terakhir, ia menjadi mudah menangis tanpa sebab-sebab yang jelas dan ia merasa pesimis dengan masa depannya serta keluarganya. Akhir-akhir ini, ia berpikir bahwa hidupnya tidak berharga dan lebih baik ia mati saja.

Semenjak di PHK Tuan A juga tidak pernah lagi mencoba mencari pekerjaan baru karena merasa putus asa dengan hidupnya selain itu saat ini dia menjadi menarik diri dari pergaulan padahal dahulu ia dikenal sebagai orang yang aktif dalam kegiatan RT di lingkungannya. Rasa sedihnya menjadi bertambah parah karena Tuan A mulai kebingungan akan pembiayaan hidupnya sehari-hari beserta keluarganya.

Gejala-gejala yang dialami oleh Tuan A di atas merupakan bagian dari gangguan depresi mayor dan contoh kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus yang ekstrim. Gangguan ini termasuk dalam kelompok gangguan jiwa dan merupakan salah satu jenis gangguan afektif (gangguan terkait suasana perasaan).


Daftar Pustaka :

Santos, Hanna dan Ismail, Andar. (2009). Memahami krisis lanjut usia : uraian
medis dan pedagogis-pastoral. Jakarta : Gunung Mulia

Semium, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius

Feist, G. J., & Feist, J. (2010). Theories of personality 7th ed. Jakarta: Salemba
Humanika